Social Icons

Kihajar Dewantoro

Bapak Pendidikan Nasional Indonesia (1889 - 1959)

tut wuri handayani,
ing madya mangun karsa,
ing ngarsa sung tulada.
    Semboyan atau asas tersebut memiliki arti masing-masing sebagai berikut: tut wuri handayani mempunyai arti dari belakang memberikan dorongan dan arahan, ing madya mangun karsa berarti di depan memberi teladan dan ing ngarsa sung tulada diartikan ditengah menciptakan peluang untuk berprakarsa. Buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan yang di dalamnya banyak terdapat perbedaan-perbedaan dan dalam pelaksanaan pendidikan tersebut tidak boleh membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Karena Tuhan memberi manusia kemerdekaan untuk mengembangkan diri dari ikatan alamiah menuju tingkatan budaya.
        Jadi kemerdekaan mengembangkan diri adalah hakikat dari sebuah pendidikan sehingga pendidikan itu tidak dapat dibatasi oleh tirani kekuasaan, politik atau kepentingan tertentu. Ini dibuktikan dengan sejarah dimana tidak pernah ada pendidikan yang berhasil kalau tumbuh di dalam alam keterkungkungan atau penjajahan. Pada masa pergerakan dan perjuangan mencapai kemerdekaan, dia memiliki dasar pemikiran yang sangat tepat, bagaimana cara sebuah bangsa dapat mencapai kemerdekaan yaitu dengan memajukan pedidikan bagi rakyatnya secara menyeluruh.
Sebenarnya pandangannya itu bukan hanya diterapkan pada masa perjuangan mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan akan tetapi bisa juga diterapkan pada konteks saat ini dalam mengisi kemerdekaan dengan hasil karya yang lebih gemilang bagi bangsa dan negara. Karena bukan saja kemerdekaan secara politik yang diproklamasikan tahun 45 akan tetapi dengan pendidikan juga untuk memerdekakan bangsa dari penjajahan dalam bidang budaya, ekonomi, sosial, teknologi, pendidikan, lingkungan, keamanan, dan sebagainya dari pihak lain.
        Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar dan setelah lulus ia meneruskan ke Stovia di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda RM Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda.
      Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, , dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentangpemerintah kolonial Belanda!.
       Ada sebuah tulisannya yang bertujuan mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis pada bulan November 1913, dan dirayakan juga di tanah jajahan Indonesia dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Judul tulisannya adalah Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan petikannya sebagai berikut:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.
      Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! "Kalau aku seorang Belanda" Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwess Dekker, dan tulisan lain yang bernada protes pada pemerintah kolonial Belanda adalah Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Protes ini berkaitan dibentuknya Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda, selain karya tulis sebenarnya dibentuk juga sebuah orgarnisasi bernama Komite Boemipoetra sebagai komite tandingan dari komite yang dibentuk oleh Idenburg. Komite Boemipoetra juga merupakan organisasi yang dibentuk setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij.
       Karena tulisan yang bernada menyindir secara keras terhadap pemerintah kolonial Belanda, maka dalam hal ini Gubernur Jendral Idenburg memberikan hukuman -walau tanpa proses pengadilan- pada Soewardi berupa hukuman internering yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal atau lebih sering disebut hukum buang. Pulau Bangka sebagai tempat pembuangan Soewardi.
    Merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil, dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo membuat tulisan yang bernada membela Soewardi, akan tetapi oleh pihak Belanda dianggap menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial pada saat itu. Akibatnya keduanya juag terkena hukuman internering, dr. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena dianggap akan lebih bermanfaat yaitu mereka bisa lebih banyak memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil, dan akhirnya mereka diijinkan untuk menetap di Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
       Dalam masa pembuangan itu tidak dia sia-siakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga berhasil memperoleh Europeesche Akte. Setelah kembali ke tanah air di tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922, sebuah perguruan yang bercorak nasional.
     Di Tamansiswa murid-murid sangat ditekankan pendidikan rasa kebangsaan agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Selain mencurahkan dalam dunia pendidikan secara nyata di Tamansiswa Soewardi juga tetap rajin menulis, namun tema tulisan-tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan. Tulisannya yang berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan jumlahnya mencapai ratusan buah. Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Banyak rintangan yang dihadapi dalam membina Tamansiswa, antara lain adanya Ordonansi Sekolah Liar yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi berkat perjuangannya, ordonansi itu dicabut kembali.
      Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, dan semenjak saat itu Ki Hadjar tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Dalam zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Jabatan yang pernah dipegang setelah Indonesia merdeka ialah sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
     Banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hadjar dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan. Tagore dan Ki Hadjar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hadjar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hadjar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari "strategi" untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi. Readmore...  Download Entri 


Thanks

1 comment:

Cempakamelati said...

Saya dari Malaysia....tak berapa faham artikel ni...

Followers